barner

Senin, 21 November 2011

Pertentangan sosial dan integrasi masyarakat

PERPECAHAN DALAM PSSI



      KONFLIK di Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) diprediksi kembali menganga setelah penyelenggaraan SEA Games XXVI. Kini, nasib PSSI bak pelanduk yang akan mati di tengah dua gajah yang sedang bertarung. Diakui atau tidak, yang selama ini terjadi adalah konflik antara ’’gajah’’ dan ’’gajah’’, antara kubu Nirwan Dermawan Bakrie dan kubu Arifin Panigoro. Konflik setelah terpilihnya kepengurusan baru Djohar Arifin Husin adalah lanjutan dari sebelum Kongres Luar Biasa (KLB). Ironisnya, yang menjadi korban justru PSSI karena para pengurusnya bukan menjadi bagian dari solusi, melainkan bagian dari konflik itu. Diduga, pengurus PSSI terpecah dalam dua kubu.

Konflik menganga ketika pengurus baru memberangus kebijakan-kebijakan pengurus lama dan banyak merekayasa. Akibatnya, di internal PSSI sendiri terjadi pergolakan.  Maka, bila kemarin rezim Nurdin Halid dicaci-maki, bahkan dikudeta, kini giliran rezim Djohar Arifin Husin yang dicaci-maki dan hendak dikudeta justru oleh mereka yang kemarin menaikkannya ke kursi PSSI-1.

Kelompok 14 mendesak KLB untuk melengserkan rezim Djohar yang dinilai sudah tidak amanah lagi. Dalam konteks ini, kita khawatir kutukan Mpu Gandring terhadap Ken Arok akan menimpa PSSI. Kudeta akan melahirkan kudeta. Prediksi penulis dalam rubrik ini menjelang KLB bahwa kudeta akan menjadi budaya di PSSI akan terbukti.

Sesungguhnya, eksponen Kelompok 14, termasuk Harbiansyah Hanafiah, adalah eskponen yang dulu memelopori pembentukan Kelompok 78 yang menentang Nurdin Halid. Kelompok itu lahir sebagai akumulasi kekecewaan atas sepak terjang rezim Djohar yang dinilai kerap melanggar Statuta PSSI, misalnya mengikutsertakan enam klub dalam putaran Liga Super Indonesia (LSI), strata tertinggi dari Kompetisi Liga Indonesia, sehingga keseluruhan peserta kompetisi musim 2011-2012 ini berjumlah 24 klub dari semula hanya 18 klub. Ke-24 klub itu adalah 14 klub peserta LSI musim kemarin, 4 klub promosi, dan 6 klub tambahan.

Enam klub tambahan ini adalah peserta Kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI), yakni PSM Makassar, Persema Malang, dan Persibo Bojonegoro yang sudah dikeluarkan dari PSSI karena lari î dari LSI kemudian bergabung dengan LPI; PSM Medan, Persebaya Surabaya, dan Bontang FC.

PSMS Medan adalah klub peringkat ke-3 Divisi Utama pada musim lalu. Persebaya bahkan berada di peringkat ke-11 Divisi Utama dan terdegradasi ke Divisi I. Dengan demikian, keputusan pengurus baru PSSI ini tidak mencermikan semangat mengangkat kualitas kompetisi yang akan bermuara pada prestasi Tim Nasional.

Maka, 14 dari 18 klub itu pun meradang dan mendeklarasikan diri sebagai Kelompok 14 yang menentang kebijakan rezim Djohar, sedangkan empat klub lainnya patuh. Empat klub plus enam klub baru peserta LSI itu kemudian membentuk Kelompok 10 untuk menandingi Kelompok 14. Kini, PSSI di ambang ’’Perang Bubat’’, perang saudara antarsesama pengurus PSSI dan pengurus klub. Ketika Kelompok 14 digertak bakal dipecat, mereka justru menggertak balik memecat Djohar cs. Siapa yang bakal tumbang, rezim Djohar beserta Kelompok 10 ataukah Kelompok 14?
Seandainya ada pemilik modal berani mendanai KLB beserta intrik-intriknya, barangkali akan ada rezim yang tergusur sebagaimana Nurdin Halid. Ibarat bara, bila ada yang menyiramkan bensin maka bara itu langsung menyala. Kudeta akan melahirkan kudeta, dan kutukan Mpu Gandring akan menjadi nyata.  Akankah rezim yang baru seumur jagung itu benar-benar tumbang? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, perseteruan di tubuh PSSI sudah begitu terbuka. Kalaupun Kelompok 14 mencoba menahan diri, paling-paling itu demi suksesnya Tim Nasional PSSI dalam SEA Games XXVI, 11-22 November 2011. Bila SEA Games usai, perseteruan itu akan kembali menyeruak. Api dalam sekam itu akan kembali menyala.

Bila dulu Nurdin Halid dicaci-maki gara-gara suka merakayasa Statuta PSSI, lalu apa bedanya rezim sekarang? Hanya demi mengakomodasi klub-klub peserta LPI, pengurus PSSI rela menyalahtafsirkan Statuta. Simak saja pengakuan pentolan Kelompok 78 Yunus Nusi (TribunNews.com, 17/10/11). Ia menuding kebijakan Ketua Umum Djohar Arifin Husin dan Wakil Ketua Umum Farid Rahman tidak transparan dan banyak melanggar Statuta PSSI lantaran utang ratusan miliar rupiah yang dimiliki pengurus LPI.

Menurut Yunus, salah satu indikasinya adalah penunjukan Wim Rijsbergen menggantikan Alfred Riedl sebagai pelatih Timnas Indonesia. ”Itu bukan rahasia lagi. LPI itu kan ada kerja sama dengan sebuah konsorsium. Di situ ada Wilhelmus (Wim) Gerardus Rijsbergen (kini pelatih Timnas PSSI) sebagai pelatih sekaligus agen pemain asing. Dia kan belum dibayar oleh LPI. Makanya Wim itu dari pelatih PSM yang hanya urutan ke-6 dipilih menjadi pelatih Timnas,” kata Yunus.

Kini, semua terpulang kepada para pengurus PSSI. Bila segera sadar kemudian meralat keputusannya, insya Allah perpecahan dapat dicegah. Tak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang hebat. Tak ada kata telanjur untuk meraih nasib mujur.

Sebaliknya, bila pengurus bersikeras pada keputusannya, jangan salahkan mereka yang hendak mengudeta dengan berlindung di balik misi suci demi reformasi dan menyelamatkan PSSI. Salah satu solusinya adalah dengan konsekuen mengimplementasikan memorandum of understanding (MoU) yang ditandatangani Ketua Komite Normalisasi PSSI dan Pengelola LPI sesaat sebelum KLB PSSI digelar di Solo, pada 9 Juli 2011, di antaranya: Pertama; PSSI akan mengurus dan mengontrol seluruh kompetisi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan LPI, termasuk aturan kompetisi, jadwal, administrasi pemain, pengangkatan ofisial pertandingan, dan tata tertib hingga hasil akhir putaran kompetisi LPI sebelum 28 Februari 2012. Kedua; PSSI tak akan menyertakan modal finansial ke LPI , termasuk tak akan mendanai kegiatannya. Ketiga; LPI akan berpegang pada seluruh perintah resmi dan keputusan PSSI, dan juga FIFAterkait kompetisi LPI.

Keempat; LPI bukan liga yang terafiliasi dengan PSSI dan juga tidak berada di bawah Statuta PSSI. Kelima; PSSI tak akan bertanggung jawab untukmembayar gaji ofisial di dalam administrasi kompetisi LPI. Bila tidak, jangan salahkan bila PSSI, ibarat pelanduk yang akan mati di tengah dua gajah yang sedang bertarung.


sumber

http://www.bolaindo.com/data/berita/22454

Tidak ada komentar:

Posting Komentar