barner

Rabu, 30 November 2011

ISD sebagai salah satu MKDU

ISD Sebagai salah satu MKDU

Adanya pendidikan tinggi diharapkan dapat membentuk dan menghasilkan insan-insan yang mempunyai kemampuan akademik, kemampuan profesi, dan kemampuan pribadi. Dengan kemapuan tersebut mahasiswa diharapkan dapat lulus menjadi sarjana yang terampil dan ahli dalam bidang yang ditekuninya serta mau dan mampu mengabdikan keahliannya untuk kepentingan masayarakat luas.
Tujuan pendidikan umum itu sendiri adalah sebagai berikut :
  1. Mahasiswa  memiliki kesiapan untuk menekuni dunia keilmuan.
  2. Mahasiswa mampu memahami berbagai konsep ilmu sosial yang akan digunakan sebagai instrumen memetakan segala problematika sosial kemasyarakatan.
  3. Sebagai usaha membantu perkembangan kepribadian mahasiswa agar mampu berperan sebagai anggota masyarakat dan bangsa serta agama.
  4. Mamberikan pengetahuan dasar kepada mahasiswa agar mereka mampu berpikir secara interdisipliner, dan mampu memahami pikiran para ahli sebagai ilmu pengetahuan, sehingga dengan demikian memudahkan mereka berkomunikasi.
Secara khusus mata kuliah dasar umum bertujuan untuk menghasilkan mahasiswa yang nantinya akan berperan aktif di masyarakat yang berperilaku sebagai berikut :
  1. Berjiwa Pancasila sehingga segala keputusan serta tindakannya mencerminkan pengamalan nilai-nilai pancasila dan memiliki integritas kepribadian yang tinggi, yang mendahulukan kepentingan nasional dan kemanusiaan sebagai sarjana Indonesia
  2. Taqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya dan memiliki toleransi terhadap pemeluk agama lain
  3. Memiliki wawasan komprehensif dan pendekatan integral didalam menyikapi permasalahan kehidupan baik sosial, politik maupun pertahanan keamanan
Pendidikan umum yang diselengarakan oleh universitas dan institut dikenal dengan mata kuliah dasar umum yang mencakup : Pendidikan agama, Kewarganegaraan, Pacasila, Kewiraan, IBD, dan ISD. Yang akan kita bahas kali ini adalah ISD (Ilmu Dasar Sosial).

sumber :
http://nurulaini23.wordpress.com/2010/09/26/ilmu-dasar-sosial/


Penduduk, Masyarakat dan Kebudayaan

Kerusuhan etnis di Ambon tahun 1999

Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999 telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat. Hingga 2 September 1991 setidaknya telah tercatat 1.132 korban tewas, 312 orang luka parah, 142 orang luka ringan. Sebanyak 765 rumah, 195 ruko serta puluhan kendaraan hancur dibakar. Di samping itu 100.000 ribu orang sudah meninggalkan tempat tinggalnya dan sedikitnya 30.000 orang menjadi pengungsi di 60 kamp penampungan, khususnya di kota Ambon dan sekitarnya. Transportasi, khususnya transportasi udara, terhenti; harga-harga kebutuhan pokok kian melonjak dan persediaan makanan menipis; kegiatan pendidikan terhenti Tidak ada yang tahu bahwa orang ambon sebagai daerah yang sangat sentral peranannya dalam masa kolonial belanda dulu, dimana daerah ini banyak digunakan sebagai agen tentara oleh kolonial. Sehingga tidak heran masih banyak orang ambon yang masih tidak ingin berintegrasi dalam Indonesia karena mereka sudah terlalu “enak” di ayomi oleh bangsa Belanda.
Pada saat sekarang bangsa Ambon banyak memeluk agama Islam dan Kristen. Jumlah pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka umumnya lebih terampil dalam bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan orang Ambon pemeluk agama Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri dan tentara.Sehingga tidak heran bahwa awal dari kerusuhan ini tidak lain berawal dari sentimen agama yang diprovokasi oleh masing-masing agama, mengingat kecenderungan di masing-masing agama sama banyak. Konflik pertama-tama dipicu oleh kejadian pertengkaran personal antara seorang sopir angkutan umum dan seorang pemuda yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat Ambon pada umumnya. Ada dua versi, dari Islam dan Kristen, yang beredar di masyarakat. Pertengkaran personal ini kemudian meluas menjadi pertikaian antar kelompok agama dan suku yang meledak menjadi kerusuhan.
Seorang saksi korban bernama Amir (bukan nama sebenarnya), warga Muslim di kampung Batu Merah Dalam, menyatakan bahwa sekitar pukul 15.30, 9 Januari 1999 dia tak memperhatikan sama sekali apa yang sebenarnya terjadi, karena pertengkaran kecil-kecilan antara warga Muslim dan Kristen sudah begitu biasa. Tapi pada pukul 16.00, serombongan besar massa datang dan menyerang. Mereka menyeberang jembatan dan masuk ke kampung dalam jumlah besar. Amir mengatakan dia tinggal di kampung Batu Merah seumur hidupnya, dan dia hampir mengenal semua wajah warga kampung itu. Tapi dia sama sekali tidak mengenal wajah orang yang memimpin rombongan besar massa penyerang itu. Dia yakin orang itu bukan orang Batu Merah. Sekitar lima orang di muka rombongan itu mengenakan kain putih pada lengan mereka. Amir lalu menelpon ke pihak polisi militer, tapi mereka menjawab bahwa mereka sudah menyerahkan persoalan itu ke polisi biasa. Mereka sendiri mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa, karena hari itu hari libur lebaran, tidak ada orang masuk kerja. Amir mengatakan, di antara rombongan massa itu dia melihat sekitar 10 orang intel berpakaian preman. Seorang di antaranya meletuskan tembakan ke udara, tetapi tidak ada hasil. Rombongan massa itu terus maju.
Rombongan massa berhenti di depan bengkel mobil yang terletak di bagian bawah dari rumahnya. Mereka rupanya menemukan kain-kain lap kotor berlumuran minyak. Mereka menyulut kain-kain itu, lalu dengan menggunakan parang-parang panjang, mereka menyulut bagian-bagian lain dari bengkel sehingga api masuk ke dalam rumah. Rumah Amir juga dibakar sampai rata dengan tanah, seperti semua rumah yang ada di Batu Merah. Orang-orang itu juga berteriak bahwa mesjid Batu Merah sudah dibakar, meskipun sebetulnya masjid itu belum tersentuh sama sekali.
Kerusuhan Ambon priode kedua yang diawali dengan pecahnya kerusuhan di pulau Saparua pada hari Kamis, tanggal 15 Juli 1999 menurut hasil investigasi sementara diakibatkan oleh dendam dan rekayasa pihak-pihak tertentu.
Setelah pecahnya kerusuhan di Desa Siri Sori Islam, Desa Ullath, Siri Sori Amalatu dan juga kota Saparua pada tanggal 15 dan 16 Juli 1999, maka pada hari Sabtu tanggal 24 Juli 1999 mulai terjadi kegiatan lempar-melempar batu antara pihak Muslim dan pihak Kristen di Desa Poka dan daerah sekitarnya Gang Diponegoro Kota Ambon.
Pristiwa saling lempar-melempar batu di sekitar Perumnas Poka tersebut kemudian dilanjutkan dengan pembakaran atas rumah-rumah warga Kristen oleh warga Muslim di kompleks Perumnas Poka yang kemudian dibalas dengan pembakaran rumah-rumah termasuk rumah-rumah Dosen Muslim di Desa Poka dan Kompleks Universitas Pattimura oleh warga Kristen.
Bersamaan dengan itu warga Kristen sekitar Kudamati melakukan aksi pembalasan pembakaran dan pembantaian terhadap warga Muslim suku Buton di daerah Wara (Kramat Jaya) yang berada di sekitar Kompleks TVRI Gunung Nona dan perkampungan warga Muslim Banda Eli di OSM Ambon yang mengakibatkan beberapa buah rumah terbakar dan puluhan korban meninggal dunia.
Dari peristiwa ini kerusuhan mulai melebar ke mana-mana hampir di seantero Kotamadya Ambon dan daerah-daerah pinggirannya.
Dari hasil investigasi, ternyata mulai hari Selasa, tanggal 27 Juli 1999 kerusuhan pecah antara lain di Desa Rumahtiga (tetangga Desa Poka), dimana hampir sebagian besar rumah-rumah penduduk warga Muslim dibakar dan dimusnahkan oleh penduduk yang beragama Kristen. Demikian juga di Kompleks Pemda II dan Perumahan Pemda I terjadi pembakaran, pengrusakan dan penjarahan besar-besaran terhadap rumah-rumah warga Kristen oleh warga Muslim.
Sedangklan di kota Ambon pusat pertokoan di jalan A.Y. Patty mulai dari toko Dunia Musik bersebelahan dengan Mesjid Al-Fatah hingga lorong toko kaca mata Optical Maluku hingga Bank Lippo dibakar dan dirusak oleh masa Muslim, demikian juga beberapa rumah penduduk di Mardika. Sementara itu pusat pertokoan di sekitar pantai pasar ikan lama (belakang Ambon Plaza) dibakar habis oleh masa Kristen.
Kerusuhan akhirnya berlanjut di wilayah-wilayah lain seperti di Galala dan Hative Kecil, Lata, Lateri dan Passo hingga Desa Waai, bahkan di dalam kota Ambon masa Muslim yang datang dari Waihaong sempat menyerang dan membakar Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Maluku, Kompleks Dok Wayame dan kapal yang ada di dalam kompleks tersebut serta rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya.
Dalam kerusuhan ini seperti ada yang memberi komando, terjadi akumulasi masa secara besar-besaran seperti yang terjadi di Desa Poka, Rumahtiga dan Kota Jawa. Masa Islam dari Jasirah Leihitu sempat menyebrang gunung dan ikut bergabung dengan masa Islam di Poka, Taeno (Rumahtiga) dan Kota Jawa untuk menyerang warga Kristen. Demikian juga masa dari kota Ambon yang sempat bergabung dengan masa Desa Poka dan Desa Rumahtiga yang beragama Kristen untuk menghadapi masa Muslim.
Sayangnya aparat keamanan tidak bersikap jujur dan adil. Di Desa Poka misalnya aparat keamanan mencoba menahan warga Kristen yang ingin mempertahankan diri, sementara mereka membiarkan masa Muslim merusak, membakar dan menjarah rumah-rumah penduduk. Demikian juga di Tanah Lapang Kecil dari lantai atas Gedung Telkom aparat keamanan menembak masa Kristen di sekitar pasa kaget Batu Gantung (depan Sekretariat GMKI), malah memimpin permbakaran rumah, gedung pemerintah dan kompleks Dok Wayame di Tanah Lapang Kecil.
Dalam peristiwa kerusuhan kali ini ratusan bom dan senjata rakitan, juga alat tajam lainnya telah dipergunakan untuk membumihanguskan rumah-rumah penduduk dan membunuh serta melukai ratusan penduduk.


sumber:
http://hendrikofirman.wordpress.com/2009/01/10/kerusuhan-etnis-di-ambon-tahun-1999/

Selasa, 29 November 2011

individu,Keluarga dan masyarakat

MAHASISWI JADI PEDAGANG BANDAR NARKOBA

Akibat kurang perhatiaan orang tua serta keadaan ekonomi yang kurang seorang mahasiswi berani dan nekat menjual barang terlarang yaitu narkoba.
Polisi menangkap seorang mahasiswi di Bandar Lampung yang menjadi pengedar dan sekaligus bandar narkoba jenis sabu.  sebut saja RA adalah warga Kampung Teluk Harapan, Kecamatan Panjang, Bandarlampung. Penangkapan bermula dari hasil pengembangan setelah penangkapan tersangka sebelumnya. RA mengaku sudah dua bulan menjadi pedagang dan bandar sabu....
Nah kasus seperti ini akibat kurang perhatian dari orang tua korban yg tidak memperhatikan tingkah laku anaknya serta faktor ekonomi orang tua yang kurang.

sumber:
http://berita.liputan6.com/read/364840/mahasiswi-jadi-pedagang-dan-bandar-sabu







Selasa, 22 November 2011

Pemuda dan Sosialisasi

TAWURAN ANTAR PELAJAR MENJADI KEBUDAYAAN 
Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak, tetapi tawuran antar polisi dan tentara , antar polisi pamong praja dengan pedagang kaki lima, sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat kita.


Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat.Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu.

Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya dendam Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut akan membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut.

Sebenarnya jika kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah. Sebagaimana kita tahu bahwa materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup berat . Akhirnya stress yang memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran.

Dari aspek fisik,tawuran dapat menyababkan kematian dan luka berat bagi para siswa. Kerusakan yang parah pada kendaraan dan kaca gedung atau rumah yang terkena lemparan batu.sedangkan aspek mentalnya , tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa yang menjadi korban, merusak mental para generasi muda, dan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Setelah kita tahu akar permasalahannya , sekarang yang terpenting adalah bagaimana menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan ini. Dalam hal ini, seluruh lapisan masyarakat yaitu, orang tua , guru/sekolah dan pemerintah.

Pendidikan yang paling dasar dimulai dari rumah.Orang tua sendiri harus aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik juga barangkali perlu dirubah.Orang tua seharusnya tidak mendikte anak, tetapi memberi keteladanan.Tidak mengekang anak dalam beraktifitas yang positif. Menghindari kekerasan dalam rumah tangga sehingga tercipta suasana rumah yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang si anak Menanamkan dasar-dasar agama pada proses pendidikan. Tidak kalah penting adalah membatasi anak melihat kekerasan yang ditayangkan Televisi. Media ini memang paling jitu dalam proses pendidikan.Orang tua harus pandai-pandai memilih tontonan yang positif sehingga bisa menjadi tuntunan buat anak.Untuk membatasi tantonan untuk usia remaja memang lumayan sulit bagi orang tua.Karena internetpun dapat diakses secara bebas dan orang tua tidak bisa membendung perkembangan sebuah teknologi Filter yang baik buat anak adalah agama dengan agama si anak bisa membentengi dirinya sendiri dari pengaruh buruk apapun dan dari manapun.Dan pendidikan anak tidak seharusnya diserahkan seratus persen pada sekolah.

Peranan sekolah juga sangat penting dalam penyelesaian masalah ini. Untuk meminimalkan tawuran antar pelajar, sekolah harus menerapkan aturan tata tertib yang lebih ketat, agar siswa/i tidak seenaknya keluyuran pada jam – jam pelajaran di luar sekolah. Yang kedua peran BK ( Bimbingan Konseling harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental siswa, Membatu menemukan solusi bagi siswa yang mempunyai masalah sehingga persoalan-persoalan siswa yang tadinya dapat jadi pemicu sebuah tawuran dapat dicegah. Yang ketiga mengkondisikan suasana sekolah yang ramah dan penuh kasih sayang . Peran guru disekolah semestinya tidak hanya mengajar tetapi menggatikan peran orang tua mereka. Yakni mendidik.Yang keempat penyediaan fasilitas untuk menyalurkan energi siswa. Contohnya menyediakan program ektra kurikuler bagi siswa.Pada usia remaja energi mereka tinggi, sehingga perlu disalurkan lewat kegiatan yang positif sehingga tidak berubah menjadi agresivitas yang merugikan.

Dalam penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler Ini sekolah membutuhkan prasarana dan sarana, seperti arena olahraga dan perlengkapan kesenian, yang sejauh ini di banyak sekolah belum memadai, malah cenderung kurang. Oleh karenanya, pemerintah perlu mensubsidi lebih banyak lagi fasilitas olahraga dan seni. Dari segi hukum demikian juga.Pemerintah harus tegas dalam menerapkan sanksii hukum Berilah efek jerah pada siswa yang melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali jika akan melakukan tawuran lagi.Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa yang berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini.

Perubahan sosial yang diakibatkan karena sering terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan. Selain itu,menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan social masyarakatnya..

Dalam bukunya yang berjudul “Dinamika Masyarakat Indonesia”, Prof. Dr. Awan Mutakin, dkk berpendapat bahwa sistem sosial yang stabil ( equilibrium ) dan berkesinambungan ( kontinuitas ) senantiasa terpelihara apabila terdapat adanya pengawasan melalui dua macam mekanisme sosial dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial (kontrol sosial).

  1. Sosialisasi maksudnya adalah suatu proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adapt istiadat ( norma ) suatu kelompok yang ada dalam sistem social , sehingga lambat laun yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari kelompok yang bersangkutan.
  2. Pengawasan sosial adalah, “ proses yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi norma dan nilai”. Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian atau pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. (Soekanto,1985:113).
sumber

http://elearning.unesa.ac.id/myblog/alim-sumarno/fenomena-tawuran-antar-pelajar

Warga Negara dan Negara


Pemain Keturunan Stefano Lilipaly Tak Sabar Bela Timnas Indonesia

    Salah satu pemain keturunan yang baru saja resmi mendapatkan Status Warga Negara Indonesia, Stefano Lilipaly tampaknya sudah tidak sabar ingin berkostum Timnas.
"Saya ingin segera bermain untuk Indonesia. Jika pelatih menginginkan, saya siap," lanjutnya.

Namun meski ingin membela Timnas, Lilipaly masih enggan untuk pindah ke Indonesia dan bermain untuk klub lokal. Menurutnya, bermain bersama FC Utrecht di Liga Belanda sangat bermanfaat terutama karena level permainan di Eropa jauh lebih tinggi dari di Indonesia.

"Sekarang saya memilih untuk bermain di level Eropa, karena level permainan di sana lebih tinggi, itu baik untuk saya. Lalu kedepannya, mungkin saja saya main disini," ujar pemain keturunan Belanda tersebut.









sumber

http://www.ceritamu.com/getattachment/05b315a3-0669-4306-9484-1cd05dfedc81/Stefano-Lilipaly-Tak-Sabar-Bela-Timnas-Indonesia.aspx
 

PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT

PELATIH TIMNAS RACHMAD DARMAWAN TIDAK PERNAH MEMBADAKAN PEMAIN NATURALISASI UNTUK BERMAIN DALAM TIMNAS


Di sebuah berita saya sangat respek sekali dengan pelatih timnas yang satu ini dia berkomentar tidak akan membedakan pemain naturalisasi yang terpenting disiplin dan di butuhkan oleh tim nah itu terbukti waktu sea games yang lalu sekian banyak pemain naturalisasi seperti kim jefry kurniawan, Ruben Wuarbanaran, dan Diego Michiels dia hanya memilih satu saja pemain naturalisasi yaitu Diego Michiels. ini sebanya saya sangat respek sama pelatih yang satu ini maju terus bung rachmad darmawan maju terus indonesia gapai lah mimpi masyrakat indonesia yang haus akan gelar...

Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan

KONFLIK MASYARAKAT KOTA DENGAN DESA



         Konflik yang terjadi antar warga desa akhir-akhir  ini semakin sering menjadi pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik. Beragamnya masalah konflik yang timbul mulai dari masalah yang sepele, saling mengejek antar pemuda, sampai persoalan perbedaan pendapat dan pandangan antar warga desa akhir ini patut dijadikan sebagai bahan renungan bersama.
Salah satu potensi konflik yang terjadi pada masyarakat desa secara langsung dan terbuka adalah antara warga dusun (masyarakat kampung) dengan warga perumahan (masyarakat pendatang) sebagai masyarakat desa transisi. Masyarakat desa transisi merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di perumahan dan permukiman baru di daerah pinggiran kota atau pinggiran pedesaan yang terjadi interaksi sosial sehingga terjadi tumpang tindih nilai-nilai tradisional peralihan menuju nilai-nilai modern.
Pada masyarakat desa transisi, peluang konflik  antara warga perumahan dengan warga dusun tersebut bisa terjadi akibat dari adanya pihak ketiga, yakni pihak developer perumahan dalam pembangunan sarana dan prasarana yang selalu mengabaikan pembangunan di dusun, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial warga dusun,  kurang memberikan peluang integrasi sosial antara warga perumahan dengan warga dusun, serta kesempatan peluang kerja bagi warga dusun sebagai masyarakat asli yang sudah lama bertempat tinggal di desa tersebut.
Pada masa lalu masyarakat desa dikenal dengan sifat gotong royong. Gotong royong merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang berlaku di daerah pedesaan Indonesia. Berdasarkan sifatnya gotong royong terdiri atas gotong royong bersifat tolong menolong dan bersifat kerja bakti. Gotong royong merupakan perilaku yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat kita sebagai petani (agraris). Gotong royong sebagai bentuk kerjasama antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok, membentuk suatu norma saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk kerja-sama gotong royong  semacam ini merupakan  salah satu bentuk solidaritas sosial.
Gotong royong merupakan perilaku yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat kita sebagai petani (agraris). Gotong royong sebagai bentuk kerjasama antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok, membentuk suatu norma saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk kerja-sama gotong royong  semacam ini merupakan  salah satu bentuk solidaritas sosial. Dalam masyarakat primer (umumnya terjadi pedesaan) dicirikan masyarakat yang guyub, teposelero, dan jalinan kerjasamanya erat. Tetapi dalam masyarakat tipe sekunder justru terjadi sebaliknya.
Dahulu masyarakat desa dalam khasanah sosiologi dikenal dengan sebutan masyarakat primer. Namun kini proses solidaritas sosial dan tingkat partisipasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proses memudarnya ikatan kerjasama itu disebabkan berbagai faktor, misalnya: masuknya nilai-nilai kapitalisme, perubahan sosial budaya, migrasi, urbanisasi, dan lain-lain.
Selain itu pada era globalisasi dan informasi telah terjadi perubahan pada berbagai aspek yang mendorong keterbukaan pada hampir di semua aspek dan sistem kehidupan manusia, termasuk pada masyarakat desa. Pengaruh globalisasi ini antara lain menyebabkan terbentuknya masyarakat desa transisi. Masyarakat desa transisi merupakan masyarakat yang di dalamnya terdapat masyarakat asli yang sudah secara turun temurun tinggal di desa tersebut dan masyarakat pendatang yang baru bertempat tinggal di desa tersebut.
Karakteristik masyarakat desa transisi ini meliputi: (a) terjadinya tumpang tindih antara nilai-nilai tradisional dengan proses modern. Hal ini dipertegas  Riggs (1998) yang menyebutkan terjadi pola campuran antara nilai-nilai tradisional dengan proses modern. Disatu sisi nilai-nilai modern yang mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat desa untuk meninggalkan nilai-nilai tradisional, di sisi lain nilai-nilai tradisional yang positif harus bisa dipertahankan dan tidak harus dihilangkan, akan tetapi dikelola  secara proporsional dan fungsional, seperti nilai-nilai solidaritas pada masyarakat perdesaan di Jawa, tradisi soyo (membantu membangun atau merenovasi rumah tetangga tanpa dibayar upah), tradisi ngelayat (mendatangi keluarga tetangga yang ditimpa musibah meninggal), tradisi rewang (membantu tenaga tetangga yang punya hajatan), tradisi klontang (memberi sumbangan uang kepada tetangga yang ditimpa musibah kematian dimasukkan ke dalam kardus aqua atau kaleng), tradisi buwuh (memberikan sumbangan uang pada tetangga/warga yang menyelenggarakan hajatan), dan tradisi lainnya; (b) masyarakat  menjadi heterogen, seperti: tingkat pendidikan, perkerjaan, dan kepercayaannya; (c) terjadinya pembangunan perumahan baru di desa pinggiran yang tidak memperhatikan kondisi masyarakat sekitar, mengakibatkan bisa terjadinya pertentangan antara nilai-nilai yang dibangun masyarakarat pendatang dengan masyarakat asli, dan kecemburuan sosial; (d)  kawasan desa pinggiran kota, kawasan di mana semakin tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan industri, perdagangan, dan peru-mahan yang membawa dampak positif, yakni memberikan kesempatan kerja non pertanian bagi masyarakat di wilayah tersebut dan sisi negatifnya terjadi konflik antara masyarakat asli dan pendatang; (e) masyarakat desa yang mengalami peralihan dari mata pencaharian di bidang agraris (pertanian)  menuju mata pencaharian non pertanian.
Kondisi tersebut terutama terjadi  pedesaan, khususnya masyarakat desa yang letaknya di pinggiran kota karena kemajuan komunikasi dan kecenderungan menjadi pusat perdagangan serta lalu lintas komunikasi yang akan mengalami perubahan drastis. Perubahan ini akan paling terasa pada masyarakat desa transisi tersebut dalam pergeseran solidaritas.
Guna memelihara nilai-nilai solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat secara sukarela dalam pembangunan di era sekarang ini perlu ditumbuhkan dari interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural sehingga munculnya kebersamaan komunitas yang unsur-unsurnya meliputi: seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh. Pada akhirnya menum-buhkan kembali solidaritas sosial. Karena solidaritas sosial adalah kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok dan merupakan  suatu keadaan hubungan antara individu  atau kelom-pok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat pengalaman emosional bersama.
Solidaritas sosial adalah perasaan yang secara kelompok memiliki nilai-nilai yang sama atau kewajiban moral untuk memenuhi harapan-harapan peran (role expectation). Sebab itu prinsip solidaritas sosial masyarakat meliputi: saling membantu, saling  peduli, bisa bekerjasama, saling membagi hasil panen, dan bekerjasama dalam mendukung pembangunan di desa baik secara keuangan maupun tenaga dan sebagainya.
Tradisi solidaritas sosial yang telah ada pada masyarakat kita secara terus menerus harus tetap dilestarikan dari generasi ke generasi berikutnya akan tetapi karena dinamika budaya tidak ada yang statis, terjadilah beberapa perubahan secara eksternal dan internal. Unsur kekuatan yang merubah adalah modernisasi yang telah mempengaruhi tradisi solidarits sosial. Selain itu perubahan solidaritas sosial tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (a) meningkatnya tingkat pendidikan anggota keluarga sehingga dapat berpikir lebih luas dan lebih memahami arti dan kewajiban mereka sebagai manusia, (b) perubahan tingkat sosial dan corak gaya hidup  kadang-kadang menciptakan kerenggangan di antara sesama anggota keluarga, (c) Sikap egoistik, bila seseorang individu terlalu mementingkan diri sendiri dan keluarganya, lalu mengorbankan kepentingan masyarakat.

            Bentuk perubahan solidaritas sosial yang telah terjadi dalam masyarakat desa antara lain: (a) Adanya kecenderungan pada  masyarakat kita, khususnya masyarakat desa transisi pada warga asli dan warga pendatang berupa kecurigaan terhadap orang lain yang dianggap sebagai lawan yang berbahaya, ini bisa mengakibatkan terjadinya konflik antar kedua masyarakat tersebut. (b) Semakin menipisnya tingkat saling percaya  dan tolong menolong dalam kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan menurunnya rasa solidaritas sosial dalam proses kehidupan.
Upaya memelihara solidaritas sosial  dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan  tidaklah semudah yang dibayangkan, karena solidaritas sosial akan terus berkembang menuju kehidupan sosial yang modern. Mampukah masyarakat desa, khususnya desa transisi beradaptasi dengan masuknya nilai-nilai yang modern yang mementingkan sikap individualitas dan tidak mengandung nilai-nilai kearifan lokal? sementara nilai budaya lokal yang dianut mengandung nilai-nilai kearifan dan sejalan dengan nilai budaya yang ada.
Nilai-nilai  solidaritas  sosial   pada  masyarakat desa transisi: (1) tumbuh dari pertautan (integrasi) antara  nilai   tradisi  lokal  dengan  nilai  modern,  akibat terjadinya  interaksi antar kedua warga tersebut, (2) Nilai-nilai solidaritas yang memiliki kearifan lokal pada masyarakat dusun dan masyarakat perumahan yang positif harus dipelihara seiring dengan  banyaknya pembangunan perumahan baru di wilayah  pedesaan,  karena  nilai-nilai   tersebut  cenderung meningkatkan  partisipasi  dalam pembangunan. Pihak  pengembang perumahan berkewajib-an mengontrol dan melakukan kerjasama   dengan  aparat  desa  dan  tokoh  masyarakat  di lingkungan masing-masing   terhadap   proses  sosial  yang berkembang dipemukiman baru,  agar segala gejala negatif yang muncul dapat segera  diantisipasi,  misalnya  gejala  segregasi   sosial   (mengabaikan  kelangsungan   sosial  dan  budaya  karena  menurut   perhitungan   ekonomi  dianggap  tidak  menguntungkan developer), konflik  sosial,  dan  dislokasi  sosial  (perubahan pemukiman penduduk dalam jumlah besar dan waktu relatif cepat) sehingga menimbulkan masalah sosial.

sumber

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6pn1Ki-EwmE7gZRszryfZYBL-bupWEDL1bs-MCh6FH7e3vq5Bx0Tx1_ODc3kyZ5WzxOE0NDZ_7bmh7eOmWInc6ub0Ocx5Fz0IjdY3bleDAJYsuXVxMOup1pzK4mJ5suWKb-rTgzq0i2w/s1600/Kota-Jakarta.jpg
http://y4ser4rafat.files.wordpress.com/2011/01/gt-masyarakat.jpg

Senin, 21 November 2011

Pertentangan sosial dan integrasi masyarakat

PERPECAHAN DALAM PSSI



      KONFLIK di Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) diprediksi kembali menganga setelah penyelenggaraan SEA Games XXVI. Kini, nasib PSSI bak pelanduk yang akan mati di tengah dua gajah yang sedang bertarung. Diakui atau tidak, yang selama ini terjadi adalah konflik antara ’’gajah’’ dan ’’gajah’’, antara kubu Nirwan Dermawan Bakrie dan kubu Arifin Panigoro. Konflik setelah terpilihnya kepengurusan baru Djohar Arifin Husin adalah lanjutan dari sebelum Kongres Luar Biasa (KLB). Ironisnya, yang menjadi korban justru PSSI karena para pengurusnya bukan menjadi bagian dari solusi, melainkan bagian dari konflik itu. Diduga, pengurus PSSI terpecah dalam dua kubu.

Konflik menganga ketika pengurus baru memberangus kebijakan-kebijakan pengurus lama dan banyak merekayasa. Akibatnya, di internal PSSI sendiri terjadi pergolakan.  Maka, bila kemarin rezim Nurdin Halid dicaci-maki, bahkan dikudeta, kini giliran rezim Djohar Arifin Husin yang dicaci-maki dan hendak dikudeta justru oleh mereka yang kemarin menaikkannya ke kursi PSSI-1.

Kelompok 14 mendesak KLB untuk melengserkan rezim Djohar yang dinilai sudah tidak amanah lagi. Dalam konteks ini, kita khawatir kutukan Mpu Gandring terhadap Ken Arok akan menimpa PSSI. Kudeta akan melahirkan kudeta. Prediksi penulis dalam rubrik ini menjelang KLB bahwa kudeta akan menjadi budaya di PSSI akan terbukti.

Sesungguhnya, eksponen Kelompok 14, termasuk Harbiansyah Hanafiah, adalah eskponen yang dulu memelopori pembentukan Kelompok 78 yang menentang Nurdin Halid. Kelompok itu lahir sebagai akumulasi kekecewaan atas sepak terjang rezim Djohar yang dinilai kerap melanggar Statuta PSSI, misalnya mengikutsertakan enam klub dalam putaran Liga Super Indonesia (LSI), strata tertinggi dari Kompetisi Liga Indonesia, sehingga keseluruhan peserta kompetisi musim 2011-2012 ini berjumlah 24 klub dari semula hanya 18 klub. Ke-24 klub itu adalah 14 klub peserta LSI musim kemarin, 4 klub promosi, dan 6 klub tambahan.

Enam klub tambahan ini adalah peserta Kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI), yakni PSM Makassar, Persema Malang, dan Persibo Bojonegoro yang sudah dikeluarkan dari PSSI karena lari î dari LSI kemudian bergabung dengan LPI; PSM Medan, Persebaya Surabaya, dan Bontang FC.

PSMS Medan adalah klub peringkat ke-3 Divisi Utama pada musim lalu. Persebaya bahkan berada di peringkat ke-11 Divisi Utama dan terdegradasi ke Divisi I. Dengan demikian, keputusan pengurus baru PSSI ini tidak mencermikan semangat mengangkat kualitas kompetisi yang akan bermuara pada prestasi Tim Nasional.

Maka, 14 dari 18 klub itu pun meradang dan mendeklarasikan diri sebagai Kelompok 14 yang menentang kebijakan rezim Djohar, sedangkan empat klub lainnya patuh. Empat klub plus enam klub baru peserta LSI itu kemudian membentuk Kelompok 10 untuk menandingi Kelompok 14. Kini, PSSI di ambang ’’Perang Bubat’’, perang saudara antarsesama pengurus PSSI dan pengurus klub. Ketika Kelompok 14 digertak bakal dipecat, mereka justru menggertak balik memecat Djohar cs. Siapa yang bakal tumbang, rezim Djohar beserta Kelompok 10 ataukah Kelompok 14?
Seandainya ada pemilik modal berani mendanai KLB beserta intrik-intriknya, barangkali akan ada rezim yang tergusur sebagaimana Nurdin Halid. Ibarat bara, bila ada yang menyiramkan bensin maka bara itu langsung menyala. Kudeta akan melahirkan kudeta, dan kutukan Mpu Gandring akan menjadi nyata.  Akankah rezim yang baru seumur jagung itu benar-benar tumbang? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, perseteruan di tubuh PSSI sudah begitu terbuka. Kalaupun Kelompok 14 mencoba menahan diri, paling-paling itu demi suksesnya Tim Nasional PSSI dalam SEA Games XXVI, 11-22 November 2011. Bila SEA Games usai, perseteruan itu akan kembali menyeruak. Api dalam sekam itu akan kembali menyala.

Bila dulu Nurdin Halid dicaci-maki gara-gara suka merakayasa Statuta PSSI, lalu apa bedanya rezim sekarang? Hanya demi mengakomodasi klub-klub peserta LPI, pengurus PSSI rela menyalahtafsirkan Statuta. Simak saja pengakuan pentolan Kelompok 78 Yunus Nusi (TribunNews.com, 17/10/11). Ia menuding kebijakan Ketua Umum Djohar Arifin Husin dan Wakil Ketua Umum Farid Rahman tidak transparan dan banyak melanggar Statuta PSSI lantaran utang ratusan miliar rupiah yang dimiliki pengurus LPI.

Menurut Yunus, salah satu indikasinya adalah penunjukan Wim Rijsbergen menggantikan Alfred Riedl sebagai pelatih Timnas Indonesia. ”Itu bukan rahasia lagi. LPI itu kan ada kerja sama dengan sebuah konsorsium. Di situ ada Wilhelmus (Wim) Gerardus Rijsbergen (kini pelatih Timnas PSSI) sebagai pelatih sekaligus agen pemain asing. Dia kan belum dibayar oleh LPI. Makanya Wim itu dari pelatih PSM yang hanya urutan ke-6 dipilih menjadi pelatih Timnas,” kata Yunus.

Kini, semua terpulang kepada para pengurus PSSI. Bila segera sadar kemudian meralat keputusannya, insya Allah perpecahan dapat dicegah. Tak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang hebat. Tak ada kata telanjur untuk meraih nasib mujur.

Sebaliknya, bila pengurus bersikeras pada keputusannya, jangan salahkan mereka yang hendak mengudeta dengan berlindung di balik misi suci demi reformasi dan menyelamatkan PSSI. Salah satu solusinya adalah dengan konsekuen mengimplementasikan memorandum of understanding (MoU) yang ditandatangani Ketua Komite Normalisasi PSSI dan Pengelola LPI sesaat sebelum KLB PSSI digelar di Solo, pada 9 Juli 2011, di antaranya: Pertama; PSSI akan mengurus dan mengontrol seluruh kompetisi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan LPI, termasuk aturan kompetisi, jadwal, administrasi pemain, pengangkatan ofisial pertandingan, dan tata tertib hingga hasil akhir putaran kompetisi LPI sebelum 28 Februari 2012. Kedua; PSSI tak akan menyertakan modal finansial ke LPI , termasuk tak akan mendanai kegiatannya. Ketiga; LPI akan berpegang pada seluruh perintah resmi dan keputusan PSSI, dan juga FIFAterkait kompetisi LPI.

Keempat; LPI bukan liga yang terafiliasi dengan PSSI dan juga tidak berada di bawah Statuta PSSI. Kelima; PSSI tak akan bertanggung jawab untukmembayar gaji ofisial di dalam administrasi kompetisi LPI. Bila tidak, jangan salahkan bila PSSI, ibarat pelanduk yang akan mati di tengah dua gajah yang sedang bertarung.


sumber

http://www.bolaindo.com/data/berita/22454

ILMU TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN

 PETANI MASIH MANGANDALKAN FAKTOR ALAM DAN ALAT SEADANYA






Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satunya, adalah dengan difusi (penyebar-serapan) teknologi kepada komunitas tersebut.
Untuk urusan budidaya, sebagian besar petani kita, lebih sering mengandalkan ilmu yang diperoleh dari pengalaman. Baik yang bersifat turun menurun maupun yang dialami dalam keseharian. Hanya sedikit petani yang dapat mengakses berbagai hasil penelitian dan pengembangan (litbang) dunia pertanian, termasuk berbagai teknologi yang terus berkembang didalamnya. Padahal, dengan adanya perubahan iklim secara global, degradasi lingkungan, dan berbagai masalah penyebab kerawanan pangan lainnya, petani mutlak melakukan berbagai inovasi untuk bisa bertahan. Inovasi tersebut bisa berjalan, apabila para petani ini mampu menyerap dan sekaligus menyebarluaskan teknologi yang dihasilkan dunia litbang.
Teknologi yang dimaksud, tidak melulu berupa peralatan yang canggih dan mahal, namun bisa dimulai dari teknologi murah tapi tepat guna. Persoalan sepele, seperti memendekkan pegangan (gagang) cangkul supaya lebih efisien dan ringan dalam membuat bedengan (pematang), ternyata menjadi hal baru dan aneh bagi petani tradisional di Lombok. Padahal, hal tersebut sudah lumrah bagi petani di pulau Jawa. Mereka sudah terlanjur terbiasa dengan cangkul bertuas panjang. ternyata, inovasi sederhana tersebut, bisa jauh menghemat tenaga dan keringat. Begitu juga teknologi kincir sederhana guna meningkatkan kadar oksigen dalam kolam ikan di air tawar, masih sangat jarang petani ikan di Jawa Barat yang mengembangkan. Pun dalam pemanfaatan kotoran ternak, limbah tanaman, dan sumber-sumber energi lokal, hingga dalam hal pemeliharaan, pemuliaan, pencegahan hama penyakit dan penguatan pasar untuk produk pasca panen, sebenarnya dapat ditingkatkan efisiensinya dengan teknologi tepat guna yang dikembangkan berbagai lembaga litbang di tanah air.
Namun sayangnya, dalam kajian tentang difusi Teknologi Tepat Guna (TTG) sektor pertanian, disimpulkan bahwa dalam penerapan TTG kepada masyarakat, baik yang melalui mediator ataupun langsung dari provider, hanya 60 % yang berhasil, sekitar 40 % lainnya mengalami kegagalan atau mubazir, (Angkasa dkk, 2003:140-145). Dengan demikian, difusi pengetahuan maupun hasil pengembangan teknologi, khususnya dari lembaga Litbang, masih perlu dijembatani oleh konsep pemberdayaan mayarakat berbasis riset yang tepat dan teruji.
Jauh Panggang dari Api
Lembaga litbang yang concern terhadap pertanian, baik milik pemerintah, universitas, maupun swasta, sebenarnya memiliki potensi untuk ikut mendifusikan teknologi secara langsung kepada para petani. Dilihat dari sisi belanja lembaga Litbang pemerintah, kegiatan paling banyak ternyata adalah untuk penelitian terapan (46,03%) (Indikator IPTEK Indonesia, 2007:133). Meskipun, bila diteliti lebih lanjut, belum terbaca berapa persen dari penelitian terapan tersebut yang secara langsung dan spesifik bertujuan memberdayakan masyarakat petani? Sehingga, nampak jelas bahwa tingkat difusi teknologi yang secara aktif dilakukan oleh pemerintah masih sangat rendah. Maka tak heran, jika Wakil Presiden mengakui riset pertanian kita masih lemah dan perlu didorong supaya lebih berdaya saing (01/08/08)
Jika ditilik lebih lanjut, keasyikan lembaga litbang untuk meneliti, seringkali tidak nyambung dengan apa yang sedang dan sangat dibutuhkan oleh petani. Kita seringkali lupa, bahwa bertani bukanlah sekedar kegiatan budidaya atau hobi semata, melainkan juga sebuah kegiatan ekonomi. Dunia pertanian tidak hanya sekedar produktif, tetapi juga terkadang eksploitatif terhadap petani itu sendiri. Eksploitasi itu akibat dari perangkap “politik pangan” negara maju dan cengkeraman gurita kapitalisme global. Didukung pula oleh para komprador ekonomi yang memancing rupiah di air keruh ini, yang tak lain dan tak bukan adalah para pembuat kebijakan yang tidak berpihak pada petani. Dunia litbang pun, tak ketinggalan mengikuti trend riset yang diciptakan donor dan pemodal-pemodal besar, daripada riset-riset kecil yang sebenarnya bisa meringkankan beban petani.
Sementara itu, dari sisi komunitas petani juga tak kalah rumit problem yang dihadapi. Khususnya yang terkait dengan lemahnya tingkat difusi teknologi ini. Pertama, lemahnya kepercayaan petani terhadap setiap kepanjangan tangan pemerintah. Baik itu lembaga-lembaga pemerintah, maupun para penyuluh pertanian. Ironi di lapangan, para penyuluh pertanian ini seringkali dianggap tidak lebih pintar dari petani sendiri. Akibatnya, apa pun yang disampaikan penyuluh tidak didengar oleh petani. Petani bosan dengan “teori-teori” pertanian yang disampaikan penyuluh, padahal ketika saatnya pembuktian dan praktek, para penyuluh ini banyak yang enggan berkotor dan berkubang lumpur secara langsung bersama petani. Pun dengan bantuan-bantuan pemerintah, para petani kecewa karena banyak yang mereka terima, tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya.
Kedua, faktor sosial budaya, sangat menentukan terhadap penyerapan teknologi. Ada suatu bentuk masyarakat petani yang tertutup, terutama yang berada di pelosok. Ikatan keluarga besar yang kuat (komunalisme), tingkat pengetahuan dan keterampilan yang terbatas, kadang-kadang menjadi masalah tersendiri ketika kita melakukan kegiatan pemberdayaan melalui difusi teknologi ini. Misalnya, dalam upaya pembentukan kelompok petani, sentimen antar klan, keluarga, agama, suku, hingga ekonomi dapat melahirkan persaingan yang tidak sehat. Bahkan, suatu kelompok bisa menjadi eksklusif dan enggan menyebarluaskan teknologi yang telah mereka terima. Alasannya, selain karena perbedaan nilai-nilai tadi, secara ekonomi mereka juga takut tersaingi. Padahal, harapan setelah didifusikan teknologi, adalah munculnya beragam adopsi dan inovasi, sehingga kesejahteraan dapat meningkat, merata, dan meluas.
Dari sini, ternyata bukan hanya penelitian dan pengembangan pertanian saja yang menjadi penting. Tetapi, dibutuhkan juga konsep pemberdayaan dan strategi difusi yang utuh, untuk mengantarkan teknologi tepat guna ini kepada petani. Jika ingin petani kita kuat dan bertahan, maka bantulah mereka merespon perubahan melalui riset, teknologi, dan kebijakan yang tepat. Saatnya berpihak pada petani!


sumber  http://www.spi.or.id/wp-content/uploads/2010/09/Petani-Bajak-Sawah.jpg

Agama dan masyarakat

BUNGA BANK DAN MASYARAKAT ISLAM  

    Fungsi dan kegiatan bank terus berkembang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Namun demikian ciri utamanya yang tetap inheren adalah untuk mendapatkan keuntungan (profit). Dalam hal ini bunga merupakan sebuah keharusan supaya bank dapat mempertahankan eksistensinya.
Tujuan Penelitian untuk mengetahui corak pemahaman dan pengamalan keagamaan masyarakat, untuk mengetahui pemahaman masyarakat Islam terhadap riba dan bunga bank, untuk menemukan alasan masyarakat Islam berurusan dengan bank yang memakai sistem bunga dan untuk mengetahui faktor penyebab ambivalensi masyarakat Islam terhadap bunga bank.
Metode Penelitian menggunakan teknik pengumpulan Data dengan pendekatan kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan pustaka, pengamatan terlibat dan wawancara.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan: Pertama, pandangan dan pemahaman masyarakat kelurahan Perwira yang berurusan dengan bank tentang bunga bank sama dengan riba yang diharamkan dalam agama Islam. Karena itu berurusan dengan bank seperti, menabung dan meminjam pada bank konvensional yang memakai sistem bunga dilarang.
Kedua, terdapat anggota masyarakat yang berurusan dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga. Mereka berurusan dengan bank dalam berbagai bentuk seperti menyimpan dan menabung dengan alasan keamanan, meminjam dan kredit dengan alasan lebih memungkinkan.
Ketiga, sebagai alasan syar’inya bagi mereka yang meyakini bunga bank itu sama dengan riba dan karena itu diharamkan adalah karena sangat butuh dan keadaan ini dikategorikan sebagai darurat. Dalam keadaan dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang.
Keempat, pendapat ulama tentang bunga bank juga sama dengan riba yang diharamkan dalam agama Islam. Bunga dikatakan riba karena tidak berdasarkan al-qawa’id al-syar’iyah yang berlandaskan Islam dan tambahan pada bank juga terjadi pada awal transaksi. Kalau tambahannya di akhir maka itu tidak riba.
Penelitian ini menyarankan kepada Departemen Agama, terutama Departemen Agama Bekasi dan KUA kecamatan Bekasi Utara agar dapat mempertimbangkan tradisi-tradisi baik yang berkembang dalam masyarakat serta mengembangkan dan mengarahkannya ke arah yang lebih baik dalam rangka mengantisipasi perubahan dan perkembangan zaman.

sumber https://lh5.googleusercontent.com/-WPptWZlz8HE/TYjHbDUM5LI/AAAAAAAAAPQ/Kj9YcnETohs/s1600/perbankan-syariah.JPG